Serang, Warta Hukum – Sebuah laporan dugaan pencurian yang melibatkan terlapor yang identitasnya masih belum diketahui publik telah menarik perhatian banyak pihak setelah dimuat dalam pemberitaan oleh salah satu media lokal. Kasus ini bermula dari laporan yang diajukan oleh seorang wanita yang melaporkan seseorang ke Polsek Baros atas dugaan pencurian. Namun, muncul pertanyaan mengenai apakah kasus ini benar-benar memenuhi unsur tindak pidana pencurian dan apakah media seharusnya mempublikasikan laporan yang masih dalam tahap penyelidikan tanpa konfirmasi dari kedua belah pihak.
Pemberitaan Sepihak: Menggiring Opini atau Kewajiban Informasi?
Pemberitaan yang diterbitkan oleh media tersebut memunculkan pertanyaan mengenai keberimbangan dan etika jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik Pasal 3 menegaskan bahwa wartawan harus memberitakan peristiwa secara berimbang dan tidak beritikad buruk, serta memastikan keakuratan informasi sebelum dipublikasikan. Namun, dalam laporan yang dimuat, hanya keterangan dari pelapor yang diungkap, sementara pihak aparat kepolisian tidak diberi kesempatan untuk memberikan klarifikasi, menciptakan kesan berita sepihak yang bisa merugikan pihak tertentu.
Lebih lanjut, media tersebut juga menyebutkan nama penyidik yang menangani kasus ini tanpa konfirmasi langsung dan konteks yang jelas. Penyebutan nama penyidik tanpa alasan yang tepat menambah kesan bahwa polisi tidak bekerja secara profesional dan objektif, bahkan berpotensi mengarah pada pencemaran nama baik aparat kepolisian yang terlibat dalam proses hukum. Hal ini jelas melanggar etika jurnalistik yang menuntut keadilan dalam pemberitaan.
Peraturan Kepolisian tentang Netralitas dan Proses Hukum
Dalam konteks ini, penting untuk mengingat bahwa kepolisian di Indonesia juga diatur oleh peraturan yang menekankan profesionalisme dan netralitas dalam pelaksanaan tugas. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 4 menyatakan bahwa Polri memiliki tugas untuk “menegakkan hukum, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.” Oleh karena itu, setiap tindakan yang melibatkan aparat kepolisian harus dilakukan dengan standar profesional yang tinggi, tanpa adanya intervensi atau tekanan dari pihak luar, termasuk media.
Lebih lanjut, dalam Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Pengawasan dan Pengendalian Kinerja Polri, pasal 5 mengatur tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas kepolisian. Penyebutan nama penyidik tanpa dasar yang jelas berpotensi melanggar prinsip transparansi ini, karena bisa menciptakan persepsi bahwa aparat kepolisian tidak bertindak independen atau tidak profesional. Selain itu, hal tersebut juga berisiko merusak reputasi Polri dalam menjalankan tugas penyelidikan dan penegakan hukum yang adil.
Sanksi bagi Media yang Langgar Etika Jurnalistik
Terkait dengan pelanggaran etika jurnalistik, media yang memberitakan informasi tidak berimbang dan mencemarkan nama baik aparat kepolisian berisiko menghadapi sanksi dari Dewan Pers. Pasal 7 Kode Etik Jurnalistik menyatakan bahwa wartawan dan media harus mengutamakan prinsip keakuratan, keberimbangan, dan kewajaran dalam setiap pemberitaan. Media yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif oleh Dewan Pers, termasuk pembekuan status sebagai anggota Dewan Pers.
Selain itu, jika pemberitaan terbukti menyebarkan informasi palsu atau tidak akurat, media tersebut juga bisa digugat secara hukum oleh pihak yang merasa dirugikan, seperti aparat kepolisian yang disebutkan dalam pemberitaan. Hal ini bisa berujung pada tuntutan ganti rugi materiil maupun immateriil atas kerugian yang timbul akibat pemberitaan yang tidak berimbang.
Verifikasi dan Akuntabilitas dalam Jurnalisme
Praktisi hukum Cecep Solihin, ketua Justicia Masyarakat Banten (JMB), menegaskan bahwa kasus ini menyoroti pentingnya verifikasi dalam jurnalisme. Menurutnya, media harus lebih berhati-hati dalam menyajikan berita yang belum memiliki cukup bukti untuk dipublikasikan, terutama dalam kasus yang masih dalam tahap penyelidikan. Jika laporan korban tidak memiliki dasar hukum yang kuat atau masih dalam proses penyelidikan, media seharusnya menunda pemberitaan untuk menghindari kesan keliru yang dapat merugikan pihak-pihak terkait, terutama aparat kepolisian yang sedang menangani kasus sesuai dengan prosedur.
Pemberitaan yang tidak didasari pada konfirmasi yang jelas dan tidak berimbang tidak hanya merugikan pihak yang terlibat, tetapi juga dapat menurunkan kredibilitas media itu sendiri di mata publik. Oleh karena itu, penting bagi media untuk menjaga kepercayaan publik dengan mematuhi prinsip-prinsip dasar jurnalisme yang bertanggung jawab.