Pandeglang – Program Pokok Pikiran (Pokir) DPRD kembali menjadi sorotan setelah KPK mengungkap dugaan permintaan jatah Pokir Rp 40 miliar oleh DPRD Ogan Komering Ulu (OKU) Sumatera Selatan ( sumsel) sebagai syarat pengesahan RAPBD ( sumber: detiknews.com ). Kasus ini semakin menguatkan dugaan bahwa Pokir sering kali menjadi ajang penyimpangan. YLSM-JMB secara tegas meminta pemerintah menghapus program Pokir yang dinilai lebih banyak merugikan masyarakat dibanding memberi manfaat.
Ketua JMB, Cecep Solihin, menilai Pokir telah disalahgunakan untuk kepentingan politik dan pribadi anggota dewan. “Pokir seharusnya menjadi instrumen untuk menampung aspirasi masyarakat. Namun yang terjadi, program ini justru lebih sering digunakan untuk bagi-bagi proyek, negosiasi kepentingan politik, dan alat permainan anggaran,” tegasnya.
Pokir: Alat Aspirasi atau Ladang Korupsi?
Secara teori, Pokir merupakan usulan pengadaan barang dan jasa yang diajukan anggota DPRD berdasarkan aspirasi masyarakat, dengan anggaran yang bersumber dari APBD. Regulasi yang mengatur Pokir antara lain:
- UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
- Permendagri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Perencanaan dan Evaluasi Pembangunan Daerah.
Namun dalam praktiknya, mekanisme ini justru sering menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Alih-alih mewakili kepentingan rakyat, Pokir lebih sering menjadi alat tawar-menawar politik antara DPRD dan pemerintah daerah.
“Proyek Pokir banyak yang bermasalah, mulai dari tidak sesuai prosedur, adanya titipan dari pengusaha, hingga pungutan liar dan success fee yang membebani anggaran. Bahkan, proyek Pokir sering bentrok dengan program Musrenbang desa,” kata Cecep.
Deretan Dugaan Penyimpangan Pokir
JMB mencatat sejumlah persoalan yang kerap terjadi dalam implementasi Pokir, antara lain:
- Dugaan Konflik Kepentingan – Anggota DPRD yang seharusnya mengawasi eksekutif justru ikut mengatur proyek, membuka celah korupsi.
- Cacat Prosedural – Banyak proyek Pokir yang tidak transparan, bahkan tidak melalui Musrenbang desa.
- Titipan Proyek dari Pengusaha – Dugaan kuat bahwa proyek Pokir sering kali diarahkan ke pengusaha tertentu dengan imbalan.
- Pungutan Liar dan “Success Fee” – Sejumlah kontraktor mengaku harus membayar fee tertentu agar bisa menggarap proyek Pokir.
- Tumpang Tindih dengan Program Desa Banyak proyek Pokir tidak selaras dengan usulan desa, menyebabkan pemborosan anggaran.
- Negosiasi Anggaran Berbasis Kepentingan Politik – Tarik ulur anggaran antara DPRD dan pemerintah daerah lebih sering terjadi karena kepentingan politik, bukan kebutuhan masyarakat
Kasus DPRD OKU hanyalah satu contoh nyata bagaimana Pokir digunakan sebagai alat untuk menekan pemerintah daerah agar memberikan “jatah proyek” kepada anggota dewan. Jika dibiarkan, praktik ini akan semakin merusak sistem pemerintahan daerah dan menciptakan iklim politik transaksional yang jauh dari semangat demokrasi.
Dampak Buruk bagi Pembangunan Daerah
Menurut Cecep, penyalahgunaan Pokir berdampak langsung pada buruknya pembangunan daerah. Proyek yang dikerjakan sering kali tidak sesuai kebutuhan masyarakat dan hanya menguntungkan kelompok tertentu.
“Lihat saja di berbagai daerah, banyak proyek Pokir yang mangkrak, kualitasnya buruk, atau bahkan tidak diperlukan masyarakat. Ini bukan lagi soal menyerap aspirasi, tapi bagaimana oknum anggota dewan bisa mendapatkan keuntungan dari APBD,” katanya.
Selain itu, maraknya praktik korupsi dalam Pokir semakin merusak kepercayaan masyarakat terhadap DPRD dan pemerintah daerah. Jika program ini terus berjalan tanpa pengawasan ketat, maka pembangunan daerah akan semakin jauh dari kepentingan rakyat.
Desakan Penghapusan Pokir
Atas berbagai permasalahan ini, YLSM-JMB mendesak Presiden dan Menteri Dalam Negeri untuk menghapus Pokir DPRD. Menurut mereka, sistem yang ada saat ini sudah cukup untuk menyerap aspirasi masyarakat tanpa harus melalui Pokir.
“Jalur Musrenbang sudah ada dan lebih transparan. Tidak perlu ada Pokir yang justru membuka celah penyimpangan. Kalau memang ingin memperjuangkan rakyat, jalurnya sudah jelas,” tegas Cecep.
Meski ada pihak yang berpendapat bahwa Pokir masih dibutuhkan, JMB menegaskan bahwa tanpa reformasi menyeluruh dan pengawasan ketat, program ini akan terus menjadi alat korupsi politik.
“Jika ingin mempertahankan Pokir, mekanismenya harus dirombak total. Tapi melihat banyaknya penyimpangan, lebih baik dihapus saja. Pokir bukan solusi untuk menyerap aspirasi rakyat, tapi ladang korupsi bagi oknum yang tidak bertanggung jawab,” pungkas Cecep.