Pemagaran Laut di Pesisir Tangerang: Justicia Masyarakat Banten Desak Pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi

Tangerang, Banten– Kejadian yang terjadi di pesisir utara Kabupaten Tangerang, tepatnya di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, terkait dengan pemagaran laut dan penerbitan 263 bidang hak atas tanah di atas permukaan laut, bukan hanya memicu keheranan, tetapi juga kekhawatiran mendalam akan bobroknya sistem pengelolaan ruang dan tata ruang wilayah yang seharusnya mengutamakan keberlanjutan lingkungan dan kepentingan rakyat.

Tata ruang wilayah yang diatur dalam Perda Kabupaten Tangerang No.13 Tahun 2011, dan perubahan terakhir dalam Perda No.9 Tahun 2020, seharusnya menjadi pedoman bagi setiap aktivitas yang terjadi di wilayah tersebut. Dalam kedua perda tersebut, sudah jelas digariskan batas sempadan pantai dan badan sungai yang tak boleh dilanggar, dan masyarakat pun dapat mengakses peta tersebut secara transparan melalui aplikasi Gistaru ATR/BPN dan Gistaru Provinsi Banten.

Namun, ironisnya, kegiatan pemagaran laut dan penerbitan bidang tanah tersebut justru terjadi jauh di luar batas yang telah ditentukan dalam perda. Ini adalah sebuah pelanggaran terang-terangan terhadap aturan yang ada, dan menunjukkan betapa lemahnya pengawasan serta kurangnya integritas dalam menjalankan amanat hukum. Pertanyaannya, bagaimana bisa pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini, baik itu pengusaha maupun aparat terkait, melakukan hal tersebut tanpa rasa takut melanggar hukum?

Perda Provinsi Banten No.1 Tahun 2023 yang muncul di tahun 2023, seakan memberikan “jalan tol” bagi kegiatan tersebut. Namun, yang menjadi sorotan tajam adalah adanya ketidaksesuaian mencolok antara garis sempadan pantai (GSP) yang diatur dalam Perda Provinsi Banten dengan yang diatur dalam Perda Kabupaten Tangerang. Garis sempadan pantai dalam Perda Provinsi Banten justru lebih menjauh ke tengah lautan, jauh dari bibir pantai yang seharusnya menjadi batas alamiah. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di balik ini semua? Apakah ini sebuah strategi tersembunyi yang sengaja dibuat untuk “mengakomodasi” kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak jelas dan merugikan masyarakat luas?

Cecep Solihin, Ketua Justicia Masyarakat Banten (JMB), dengan tegas menyatakan, “Ini adalah tindakan yang sangat berbahaya dan merusak. Pemagaran laut dan penerbitan tanah di atas permukaan laut ini bukan hanya melanggar peraturan yang ada, tetapi juga menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Banten, khususnya Pj. Gubernur Al Muktabar, telah mengabaikan prinsip dasar tata ruang yang seharusnya melindungi ruang hidup masyarakat dan kelestarian alam. Apakah ini cara-cara kotor untuk mengalihkan perhatian publik atau justru sebagai langkah menuju kerusakan yang lebih parah?”

Cecep mengungkapkan, bahwa dirinya dan Justicia Masyarakat Banten akan terus mengawal kasus ini dengan sangat serius. “Kami mendesak agar segera dilakukan audit menyeluruh terhadap kebijakan tata ruang yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Banten, dan jika terbukti ada unsur kesengajaan atau kelalaian, kami akan mendesak agar pihak-pihak yang terlibat dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Tidak ada tempat untuk kebijakan yang merugikan masyarakat dan merusak lingkungan,” tegas Cecep.

Pernyataan ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi semua pihak yang berupaya untuk mengabaikan peraturan tata ruang dan merusak ekosistem pesisir. Keberadaan produk hukum yang membingungkan dan tidak konsisten, seperti perbedaan garis sempadan pantai dalam dua perda yang berbeda, hanya memperburuk situasi dan menambah kebingungan publik.

Pertanyaan yang Harus Dijawab oleh Pemerintah Provinsi Banten:

  1. Apa dasar hukum yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi Banten untuk memberikan legitimasi terhadap pemagaran laut dan penerbitan tanah di atas permukaan laut yang jelas-jelas melanggar tata ruang yang ada
  2. Mengapa Perda Provinsi Banten No.1 Tahun 2023 justru menciptakan perbedaan garis sempadan pantai yang tidak sesuai dengan Perda Kabupaten Tangerang?
  3. Adakah unsur kesengajaan dalam kebijakan ini?
    Mengapa kebijakan tata ruang yang sudah ada sejak 2011 tiba-tiba dipertanyakan oleh kebijakan baru yang diterbitkan pada tahun 2023?
  4. Apakah ini bagian dari upaya untuk menutup-nutupi kesalahan yang terjadi di lapangan?
  5. Apakah Pemerintah Provinsi Banten tidak melihat potensi kerugian bagi masyarakat dan kerusakan ekosistem pesisir yang bisa ditimbulkan dari kebijakan ini?

Sebuah sinyal jelas harus diberikan oleh masyarakat kepada Pemerintah Provinsi Banten, bahwa mereka tidak akan membiarkan kebijakan yang cacat hukum ini terus berlanjut. Kini saatnya untuk menuntut pertanggungjawaban dari Pj. Gubernur Banten, Al Muktabar, dan semua pihak yang terlibat, agar segera menghentikan kegiatan ini dan menyusun kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat dan kelestarian alam.

Cecep Solihin mendesak agar Pemerintah Daerah Provinsi Banten segera melakukan evaluasi terhadap kebijakan ini, serta memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil mengutamakan kepentingan masyarakat, keberlanjutan lingkungan, dan kepatuhan terhadap peraturan yang ada. Publik diimbau untuk terus mengawasi dan mendesak transparansi dari Pemerintah Provinsi Banten guna menyelesaikan persoalan ini secara adil.

By Wahyudi

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Post
Filter